Internasional

Olahraga

Hiburan

» » » Puluhan Wartawan Pase Peringati Hari Pers Sedunia

"Kemerdekaan Pers Dari Rakyat Untuk Rakyat"
LHOKSEUMAWE- Puluhan wartawan wilayah Pase, Aceh Utara-Kota Lhokseumawe, menggelar aksi damai memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, Minggu (3/5), di Simpang Inpres Kota Lhokseumawe. Para wartawan itu tergabung dalam organinasi Dewan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Aceh (DPP-PWA), Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) Lhokseumawe, Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-R) dan organisasi lainnya.  Aksi damai ditutup dengan doa bersama setelah melakukan long march. 

Berikut pernyataan sikap kedua organisasi selaku pemarkasa aksi damai, PWA dan AJI.
Pada 1993, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di seluruh Internasional.
Sejak itu, 3 Mei diperingati demi memertahankan kebebasan media dari serangan atas independensi dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan profesinya. 3 Mei menjadi hari untuk mendorong inisiatif publik untuk turut memerjuangkan kemerdekaan pers.
3 Mei juga menjadi momentum untuk mengingatkan pemerintah untuk menghormati komitmennya terhadap kemerdekaan pers, Hari Kemerdekaan Pers Internasional juga menjadi hari bagi para pekerja pers untuk merefleksikan kebebasan pers dan profesionalisme etis jurnalis. UNESCO menjadi organisasi resmi Perserikatan Bangsa-bangsa yang setiap tahun menghelat peringatan Hari Kemerdekaan Pers Internasional.

Meski sejak 23 September 1999, Presiden Indonesia BJ Habibie mengesahkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang mencabut wewenang pemerintah untuk menyensor dan membredel pers, dalam kenyataannya profesi jurnalis masih menjadi salah satu profesi yang paling terancam di Indonesia. Pemerintah melalui aparat penegak hukum, baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, terus menjalankan praktik impunitas, melindungi para pelaku pembunuhan terhadap jurnalis dari jeratan hukum.
Di pihak lain, Indonesia juga memiliki rapor merah dalam perlindungan profesi jurnalis. Sejak 1996, sedikitnya telah terjadi 12 kasus pembunuhan jurnalis. Praktik impunitas nyata-nyata dijalankan aparat penegak hukum dengan pembiaran bahkan perusakan barang bukti kasus pembunuhan jurnalis, demi melindungi para pelaku. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sejak 1996, sedikitnya ada delapan jurnalis dibunuh yang kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili.

Sembilan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Aceh, 29 Desember 2003).
Kemudian Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010), dan Darma Sahlan (jurnalis Tabloid Mingguan Monitor Medan) ditemukan tak bernyawa 5 Februari 2012 di Aceh Tenggara.

Praktik impunitas terhadap para pembunuh jurnalis telah menyuburkan praktik kekerasan terhadap jurnalis yang meliput di lapangan. Data AJI Indonesia menunjukkan kasus kekerasan yang terjadi setiap tahunnya tidak pernah kurang dari 30 kasus. Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim. Perilaku aparatur negara yang abai terhadap perlindungan jurnalis juga mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat umum yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang bekerja.

Untuk mewujudkan kebebasan pers, kami menyatakan sikap:
1.      Aparat penegak hukum jangan melakukan kriminalisasi terhadap jurnalis dan media karena karya jurnalistiknya.
2.      Semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi sengketa karya jurnalistik.
3.      Meminta semua pejabat publik di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, menjadikan Undang-undang  Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebagai momentum untuk menyelenggarakan Pemerintahan yang bersih dan transparan.
4.      Meminta semua masyarakat untuk ikut mendukung terwujudnya kebebasan pers.
5.      Meminta kepada semua jurnalis untuk selalu meningkatkan kapasitas profesionalnya dan berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik.

Lhokseumawe, 3 Mei 2015

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama