Internasional

Olahraga

Hiburan

» » Kibaran Wacana Sang Bendera

Kemarin Mendagri Tjahjo Kumolo tetap meminta bendera Aceh diubah. Artinya qanun tentang bendera diubah.Sepertinya drama bendera dan lambang Aceh terus saja diputar. Pusat sepertinya selalu melihat Aceh dengan stereotip negatif. Lambang dan bendera Aceh dianggap mengadopsi simbol Gerakan Aceh Merdeka.

Aneh bin lucu bila ini menjadi acuan. Manusianya yang mantan GAM saja sudah manjadi bagian NKRI. Jadi kenapa dengan bendera dan lambang? Dua hal itu cuma simbol. Yang namanya simbol itu secara harfiah tidak bernyawa. Artinya lambang dan bendera itu tidak bisa memberontak. Tidak bisa angkat senjata atau menggerakkan perang. Yang menyebabkan simbol itu menjadi perang atau sparatis adalah manusianya.

Sekarang manusianya sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Kenapa dengan lambang dan bendera tidak bisa diterima? Siapa bahaya simbol itu dengan manusianya? Hari ini pemerintah pusat berpelukan dengan mantan pemberontak GAM, tapi tidak bisa berdamai dengan simbol. Kenapa ini? Ada apa sebenarnya?

Lagipula logika sederhana saja bila lambang itu menjadi bagian NKRI yang dipakai Aceh. Maka klaim pihak lain akan tidak ‎bermakna dan menjadi lemah. Sepertinya kita masih amat suka mempersoalkan simbol dibanding isi. Pemerintah pusat janganlah merasa sebagai tuan bagi daerah. Biarkan saja daerah punya identitas tapi tetap dalam koridor NKRI. Toh di negara lain hal ini biasa. Begitu juga bendera organisasi apapun. Selama masih bersanding dan merah putih lebih tinggi, toh dibolehkan.

Terlalu mengada-ada bila alasan karena pernah menjadi simbol sparatis. Sebab yang menggerakkan sparatis itu manusianya. Dan mereka sekarang manjadi perpanjangan pemerintah pusat di Aceh. Mereka mengisi hampir semua institusi RI di Aceh. Jadi buat apa simbol tak bernyawa itu ditolak dan dianggap macam-macam?

Bagi Aceh jelas ini penting sebagai bukti sejarah bahwa semua keistimewaan atas nama otonomi itu karena bendera dan lambang ini. Artinya hanya simbol untuk mengenang saja. Simbol pemersatu dan bukti kekhususan.

Intinya pusat jangan kehilangan logika bahwa yang memberontak dulunya adalah manusia bukan bendera atau lambang. Bendera dan lambang cuma benda mati dan pasif.

Dalam drama ini kita juga menyesali pemerintah Aceh. Rakyat bosan dan muak melihat, mendengar dan menonton drama ini. Kenapa tidak pernah selesai. Kita ada kepastian hukum. Beraninya malah cuma bicara.
“Bendera dan lambang Aceh sudah sah” itu yang kita dengar dari pihak eksekutif dan legislatif. Tapi jangankan mengibarkan bendera, mendirikan tiangnya saja tak berani.

Eksekutif dan legislatif terkesan memanfaatkan emosi masyarakat saja. Seolah-olah mereka sedang berjuang. Padahal cuma retorika tanpa makna. Sekedar alasan dapat SPPD ke jakarta. Pemerintah Aceh terus berjuang. Begitu selalu kita dengar. Tapi yang kita lihat sepertinya eksekutif yang dalam hal ini Gubernur one man show. DPRA juga jalan sendiri. Padahal bila semua komponen dilibatkan tak perlu energi sebanyak ini untuk mengurusnya.

Kita punya 17 wakil di DPRRI dan DPD. Mereka kita utus ke sana untuk mengurus kita. Mengurus Aceh. Bukan seperti kita buang kucing ke pasar ikan agar jangan mengganggu di rumah. Mereka kita kirim untuk bekerja, berpikir demi Aceh.

Mereka jelas punya daya lobi lebih baik dan setara. Kemana mereka sekarang? Sejumlah angin berhembus mengatakan pemerintah Aceh tidak mengajak atau melibatkan mereka. Bila benar begini maka sampai kapanpun hak Aceh sebagai mana dalam perjanjian damai akan sulit di realisasikan.

Gubernur tidak cukup melibatkan anakbuahnya. Mereka tidak punya daya tawar. Libatkan dalam semua perundingan dan lobi pihak lain. Pihak lain dalam hal ini adalah DPRA, DPRRI dan DPD. Agar bilapun hal ini kemudian gagal, gubernur jangan menanggung dosa sendiri. Agar rakyat menghukum semua yang terlibat.
Jangan mau jadi pahlawan sendiri takutnya malah jadi pecundang. Semua para pemegang amanah rakyat Aceh jangan seperti “po panteu alee, tapoh han saket ta caret han male“. (int)

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama